Rabu, 26 November 2014

Cerita Fiksi: Cahaya diujung toba (part 1)

  Pagi lagi, cerah lagi. Dimana sang mentari membangunkan semua insan semesta yang telah semalaman merebahkan lelah setelah bersimbah peluh dan pilu melawan dunia. Dunia? hahahahha. Mungkin sedikit berlebihan. Melawan hidup, mungkin? Baiklah, ayo memulai hari ini dengan secercah harapan. Setidaknya masih ada sejengkal kepercayaan bahwa hidup ini tidak seburuk apa yang diceritakan orang lain bukan?

Sebaiknya aku memperkenalkan diriku terlebih dahulu, seperti kata pepatah tua "Tak kenal maka tak sayang". Jadi ada baiknya kita saling mengenal bukan? Namaku reinald, kalian bisa memangilku "rein". Aku hanya seorang pemuda yatim piatu yang berusaha meniti hidup agak lebih baik. Bukankah itu yang banyak orang lakukan?

 Aku bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi dan aku harus tinggal di beberapa tempat untuk mengontrol pekerjaan yang dilakukan beberapa pekerja kasar kami. Hal ini membuatku memiliki cukup banyak  pengalaman baik itu tentang yang berhubungan dengan  pekerjaanku maupun tentang hal lain tentang cinta. Dari sekian banyak tempat yang kukunjungi aku memiliki beberapa pengalaman yang cukup membuatku mengerti arti cinta. Siapa tak mengenal dia, seluruh umat semesta memujanya. Cinta mengajari kita untuk saling menjaga, melindungi, menghargai tapi juga mengajari kita membenci dan mengutuk. Dari semua orang yang aku kenal ada satu sosok yang masih kuingat sampai sekarang, seorang gadis bernama "cahaya".


_______________________________________________

    Aku ditugaskan untuk berangkat ke danau toba hari ini. Salah satu danau yang cukup terkenal karena keindahan dan keasriannya alamnya yang mempesona. Aku berangkat dari kota medan pukul 17.25 Wib dan sampai dilokasi sekitar pukul 21.45 Wib. Setelah melalui perjalan yang cukup panjang akhirnya aku memutuskan untuk langsung beristirahat di mess yang telah disediakan oleh perusahaan kami. 

    Paginya aku terbangun karena udara yang cukup dingin. Aku membuka pintu dan langsung disuguhi pemandangan yang menakjubkan, sungguh membuat aku merasa sangat nyaman. Tepat dihadapan kamarku terhampar luas danau berlatar belakang gunung dan bebukitan yang indah. Aku langsung menghirup udara yang sangat jarang ditemui di kota-kota besar ini. Angin yang menghantam wajahku, burung yang saling bertegur sapa, dan bunyi deru angin yang mengenai pepohonan dan air menimbulkan bunyi yang khas. Aku terpukau. "Luar biasa Kau Tuhan" bisikku dalam hati.
   Setelah berbenah aku memutuskan untuk berkeliling agar lebih mengenal daerah yang akan kutinggali sementara ini. Tepat di sebelah mess kami ada beberapa rumah penduduk yang cukup ramah. Warga asli yang notabene bekerja sebagai peternak ikan dan petani ini menyapaku hangat dan menanyakan beberapa hal tentang pengerjaan proyek. Saat sedang asyik berbicara dengan beberapa warga mataku terpaku pada seorang wanita yang sedang duduk dipinggir danau. Dari perawaknnya kelihatannya dia bukan warga lokal. Setelah berbicara dengan beberapa warga aku menjumpainya.

 "hai" sapaku.

 "ya? apakah kita saling mengenal?" tanyanya.

"Tidak, tapi mungkin sebentar lagi mungkin kita akan saling mengenal" jawabku percaya diri.

"Kau terlalu percaya diri kawan. hahaha"

"Bukankah sebaiknya percakapan ini kita mulai dengan perkenalan, cantik?"

"Perkenalan? perkenalan hanyalah awal dari perpisahan? Lebih baik tak pernah saling mengenal daripada kau harus menjemput perpisahan"

"Namun akar dari perpisahan adalah pertemuan, kita telah bertemu cantik, alangkah baiknya kita menyirami bibit perpisahan itu agar dia tumbuh terlebih dahulu."

"Aku lebih baik mencabut akarnya daripada harus menanam sesuatu yang aku tak inginkan tumbuh"

"Baiklah, aku tak ingin memaksa. Aku masih berharap kita masih bisa menyirami perpisahan tersebut hingga dia tumbuh selayaknya. Namaku reinald. Kau boleh memanggilku rein. Mungkin kita akan bertemu lagi nanti." Kataku pergi meninggalkannya.

_________________________________________________

    Malam telah tiba, aku telah mengelilingi pedesaan hari ini, mengenal banyak orang, berbicara dan berbagi pengalaman. Aku masih punya waktu seminggu disini sebelum pekerjaanku dimulai. Cukup menyenangkan disini, udara yang sejuk,  penduduk yang ramah, makanan yang enak, pemadangan yang luar biasa. Aku merebahkan diri diatas tempat tidurku sambil memainkan game di smartphone-ku. Tiba-tiba aku teringat tentang wanita yang kutemui di pinggir danau tadi. Perkataannya masih agak sedikit menggangguku. Perkenalan adalah awal dari perpisahan, mungkin benar. Tapi lebih baik tak pernah mengenal daripada harus mengecap perpisahan? Omong kosong macam apa itu? Bagaimana mungkin ada orang yang tak pernah mau mengenal orang lain? Pertanyaan itu terus membayangiku hingga akhirnya aku tertidur dalam naungan terang rembulan dan nyanyian jangkrik malam.

  Aku terbangun pagi ini dengan sedikit kebingungan, apa yang harus kulakukan hari ini? Aku beranjak dari tempat tidur dengan malas, mengaduk segelas kopi dan mengambil sebatang rokok. Saat aku sedang menikmati pemandangan mataku tertumbuk pada satu pemandangan yang sehari sebelumnya telah kulihat, seorang wanita, wanita yang sama, duduk di pingggir danau. Jujur aku masih menyimpan rasa penasaran yang cukup besar dengan wanita ini. Dia terlalu misterius bagiku, apa yang pernah dialaminya? Kenapa dia begitu trauma dengan perpisahan? Mungkin ada baiknya aku berbincang dengannya, sergahku dalam hati.

"Hai, masih terlalu dini untuk menikmati derus air bukan? Ikan-ikan masih tergeletak dalam peraduannya tapi kau sudah duduk anggun disini menikmati semesta" sapaku

"Oh, hai. Sepertinya aku memiliki penguntit disini. Apa yang kau inginkan?"

"Aku sedang menikmati hidupku yang sejengkal ini, lalu ada kulihat seorang wanita juga sedang menikmati hidupnya. Kenapa kami tidak berbagi, mungkin?"

"Hahaha, kau memang pemuda yang keras kepala. Tak memperdulikan penolakan, selalu ingin menjadi payung dalam kesedihan orang dan siap menjadi neraca penyeimbang kesedihan dan kebahagiaan."

"Tentu, itu menyenangkan. Berbagi kisah sedih dalam hampanya ruang hati dan menghantarkan kebahagiaan kedalam hati yang penuh duka."

"Kau takkan mampu menghantarkan itu sobat. Kakimu akan terlalu lelah berjalan hingga akhirnya mereka akan berteriak menyerukanmu untuk berhenti. Hatiku terlalu jauh, bahkan aku sendiri tak tahu lagi dimana dia."

"Biarkan aku mencoba, setidaknya aku akan menyiapkan beberapa cadangan kaki untukmu."

"Baiklah pemuda keras kepala. Kuharap keras kepalamu bisa mengalahkan kerasnya kehidupan, karena aku telah dikalahkan oleh kerasnya kehidupan. Aku pernah dihempaskan cinta, dijatuhkan kenangan dan kini aku sedang dihancurkan oleh kenangan masa lalu."

"Cinta bukan? Hanya cinta yang mampu membuat luka sedalam itu. "

"Sebaiknya kita lebih baik bertemu lagi nanti. Aku masih belum mampu bangkit dari luka hatiku". Katanya seraya meninggalkanku, sendiri....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar